katarsis

Dua belas tahun. Bukan waktu yang sebentar bukan? Itulah lamanya engkau bersekolah sejak seragammu putih merah hingga kau dapat melepas putih abu dengan berjuta cita dan rasa. Selama itu pula aku mencoba menggenggam mimpi-mimpiku, yang kini kian tergoyah oleh waktu.

Selama itu pula, di masa-masa sulitnya, sentiasa hati tergoda untuk berandai “Andaikan dahulu…”, dan kembali terselipkan ragu itu: …adakah dulu terlalu cepat langkah terjejak… Meski telah kutahu Nabi telah melarangnya, dan itulah pintu bisikan syaithan.. Qadarullah wa Ma Syaa a Fa’ala. Selalu kucoba ingatkan diri, bahwa apa yang telah terjadi itulah yang terbaik bagiku. Bagi duniaku dan akhiratku. Boleh jadi aku membenci sesuatu, padahal itu baik untukku, dan sebaliknya.

Namun ijinkan aku mencoba, menyibak kabut tebal pikiran dan duka yang kini seringkali muncul dan menyelimuti hari-hari, tanpa ada kesanggupan lisan ini untuk sepatah pun mengurainya. Lisan hanya sanggup berkata, bahwa aku tak mengapa, sembari meyakinkan diri sendiri bahwa aku memang baik-baik saja…. namun gundah yang kerap ada itu membuatku ragu, adakah perkataan tadi terhitung sebuah dusta. Semua hanya terkubur kian dalam, namun kini terasa semakin berat dan aku khawatir hal ini akan mengganggu pengasuhan.

Adalah aku yang masih berseragam putih abu kala itu, mulai merajut cita, bukan untuk dunia tetapi untuk negeri keabadian. Aku bayangkan petanya menuju ke sana, dan telah mantap memikirkan jalan mana yang ingin aku ambil. Sama sekali tidak terlintas cita-cita dunia kala itu, cenderung tak acuh.. sehingga pada titik ini barulah aku sadari ada yang mungkin telah kecewa karena kelalaianku memikirkan cita-cita duniaku ini. Aku sungguh berharap bisa membuat mereka bangga kelak, entah bagaimana caranya, here or hereafter.

Telah hilang masa itu kini. Sayangnya, dari cerminan hari-hariku, kumerasa cita tak kunjung tergapai pula. Jalan ini terasa tidak sesuai dengan peta yang aku bayangkan. Sehingga mulai muncul pemikiran, apakah apa yang telah kulalui ini semua sia-sia? Padahal mungkin saja sisa hidupku kini tidak lagi sepanjang apa yang sudah aku habiskan.

Innalillahi wa inna ilaihi rooju’uun… Lupakah diri, bahwa manusia hanya sanggup berencana, Yang Kuasa yang akan menentukan semuanya..Namun kekecewaan ini sangat sulit aku kendalikan, maka ijinkan ku mencoba mengurai sedikit kekusutannya.

Tatkala membangun mimpi itu, adalah aku dalam keimanan yang baik, berteman di lingkungan yang baik. Kemudian datanglah badai ujian yang sama sekali tidak aku persangkakan. Dua ujian besar, yang pertama adalah kehilangan sebuah jiwa. Kemanusiaan telah membunuh sebuah jiwa yang kukenal. Ini saja sudah membuatku terpuruk cukup dalam. Ditambah ujian kedua: hilangnya kepercayaan dari orang-orang yang sangat aku cintai. Tolong, aku rasa aku akan karam! namun aku tak menyadarinya. Aku kebingungan tentang apa yang harus aku perbuat, hingga aku membiarkan jiwaku terlunta tak berarah. Jiwa yang lemah, terseret gombal semu dunia, mengumpan setiap rasa bahkan hingga menabrak batasan-batasanNya. Aku justru semakin menjauh dari apa yang aku butuhkan kala itu: cahayaNya.

Namun rupanya, dalam ketidak jelasan identitas jiwaku kala itu, mimpi akhiratku masih tersimpan demikian baiknya. Tanpa menyadari bahwa diri masih terombang ambing dalam badai, datanglah apa yang nampak seperti sebuah jalan keluar. Dan dengan berbekal dua perkara dari ucapan Nabi yang mulia, aku menjejak gerbang mimpi akhiratku itu. Dua perkara yang tersebut ringan, namun bila dirinci sebetulnya tidaklah demikian mudahnya. Andaikan diri tahu benar bagaimana mendefinisikannya. Namun kala itu, definisiku sangatlah awam dan sederhana, sementara mimpi masih demikian tingginya.

Maka tibalah masa menjejak kenyataan.

Jiwa mulai kembali mengenali cahaya, dan mencoba menghimpun sebanyaknya cercah cahaya untuk dapat kembali berjalan tegap dengan penuh yakin. Dan kini jiwa ingin berlari, kini jiwa semakin memahami makna dua perkara yang menjadi modalku melangkah di awal jalan nyataku ini. Dan jiwa semakin merasakan adanya celah yang jauh, antara mimpi dan kenyataan. Kekosongan yang semakin lama terasa cukup menyiksa. Piciknya diri membisikkan bahwa celah ini adalah sebuah hukuman, atas keberpalingan diri kala ditempa badai. Maka mulailah hati disusupi pengandaian yang terlarang itu…

Andaikan langkah tak terjejak kala badai menghempas

Andaikan kemanusiaan tidak demikian jahatnya membunuh jiwa yang kukenal itu

Andaikan aku tidak berpaling dan tetap di jalan cahaya!

Innalillahi wa inna ilahi rooji’uun. Qadarullah wa ma syaa a fa’ala. Berhentilah berandai karena Nabi telah melarangnya. Qadarullah wa ma syaa a fa’ala. Senantiasa pahatlah dengan kuat wahai jiwa, bahwa apa yang telah Allah takdirkan maka itulah yang terbaik.

Keberpalinganmu kala itu, sudah terjadi. Itulah takdir, maka itu yang terbaik bagimu. Apa yang telah terjejak selama keberpalinganmu, telah terjadi. Itulah takdir, maka itu yang terbaik bagimu.

Bila badai tadi adalah sebuah ujian, maka anggap saja engkau belum berhasil dalam ujianmu kali itu. Dan ingatlah pesan pentingnya: jangan sekali-kali berpaling dari jalan cahaya. Justru di sanalah terletak kunci jawabannya, dari segenap ujian hidup manusia.

Bila kini celah dan kekosongan terasa menyiksa, genggam erat pelajaran yang telah kau dapat: jangan sekali-kali berpaling dari jalan cahaya. Carilah ketenangan dan jalan keluar padanya, mungkin engkau hanya perlu lebih banyak belajar. Untuk bisa lebih memahami, untuk bisa lebih bersabar, dan yang sangat aku harapkan: untuk bisa memiliki hati yang selalu bersyukur.

Bismillah Ya Allah mudahkanlah.

Allahumma laa sahla illa ma ja’altahu sahla, wa Anta taj’alul hazna idza syi’ta sahla.

Awal mula

Semua bermula saat ku mecoba mencari solisi untuk problem GTM pada anak. Follow beberapa ibu2 influencer Instagram, dan dari sana ada yg akhirnya mengenalkan aku dengan GAPS diet. Karena tertarik dan mungkin berhubungan dengan apa yang aku cari, aku pun lalu mendengarkan beberapa ‘ceramah’nya dr. Natasha Campbell-McBride di YouTube. sangat terpantik semangatnya mendengar ceramah beliau, karena menurutku sangat masuk akal dan mungkin bisa menjadi solusi dari masalah yg tengah aku hadapi.

Ketika menghadapi problem GTM anak, nasihat yg aku dapat dulu biasanya berfokus pd “cari ap masalahnya” lalu benarkan dari sana. Misalnya, bila anak sedang tumbuh gigi, maka mungkin memang akan menolak makan, dan bisa disajikan popsicle homemade atau yg dingin utk meredakan ketaknyamanan gusi. Namun ketika sangat sering terjadi, aku sudah tida bisa lagi mengerti apa sebetulnya masalahnya, dan tidak tahu langkah apa yang harus kulakukan. Sudah hampir putus asa, apalagi ini kali kedua aku mengalami, dan kurasa kali ini lebih parah dari kasusnya nak sulung dulu. Maka aku pikir tak ada salahnya bila kucoba sedikit mendalami teori GAPS, terutama stelah aku mendengar bahwa pada anak2 dengan GAP syndrome, picky/fussy eating sangat lumrah sekali terjadi.

Alasan kedua adalah, sejak dulu aku percaya bahwa nutrisi memegang peranan penting terhadap kesehatan manusia secara umum. Teringat di akhir masa SMA dulu, bersama ibu kami sempat menerapkan food-combining di rumah selama sekitar setahun. Ku awalnya membaca bukunya dan tertarik untuk menerapkannya. Alhamdulillah I had the most powerful companion, my mom, yang mendukung terlaksananya program FC di rumah ortuku dulu. Semangat ini juga yang membuatku mencari tahu lebih banyak tentang nutrisi dan kesehatan ini. Yg awalnya kuharap bisa menjadi solusi problem GTM ini.

Dr. Campbell-McBride, MD, MMedSci (neurology), MMedSci (nutrition) adalah seorang dokter medis yang juga mendalami tentang neurologi dan nutrisi. Salah seorang anak beliau terkena autisme yang akhirnya dapat sembuh dengan ikhtiar pengaturan asupan nutrisi melalui protokol yang beliau rancang.

Beliau juga membuka sebuah klinik di mana (saat beliau menulis buku “Gut and Psychological Syndrome) terdapat ratusan pasien yang memiliki permasalahan2 perilaku & learning disabilities. Beliau memerhatikan bahwa hampir keselurhan pasien yang beliau tangani di kliniknya juga memiliki masalah pencernaan. Di sinilah muncul hipotesa keterkaitan kuat antara pencernaan dengan fungsi otak manusia, yang kini semakin didukung dengan pesatnya riset-riset gut microbiome yang semakin berkembang.

Dari dr. Campbell-McBride lah saya berkenalan dengan gut-flora, bahwa ada bakteri baik yang menghuni usus manusia. Bahwa bakteri baik ini memegang peranan yang sangat penting untuk kesehatan tubuh manusia sehingga bila keseimbangannya terganggu dapat timbul masalah kesehatan.

Inj juga awal mula saya kembali bersemangat untuk lebih memerhatikan apa yang saya sajikan untuk keluarga. Menyadari kembali bahwa apa yang kita jadikan asupan kepada tubuh kita akan memengaruhi keseluruhan kesehatan yang tidak hanya fisik. Akun instagram saya yang awalnya untuk hobi lettering, akhirya semakin banyak mem follow akun-akun yang mengkampanyekan hidup sehat.

Terkadang saya merasa overwhelmed dengan apa yang saya baca, atau belum siap menerima. Apalagi saat semuanya harus saya simpan sendirian terasa semakin berat. Apalagi saat menurut saya hal itu sebetulnya penting, namun sepertinya dianggap biasa ataukah karena belum banyak yang tahu?

Maka saya ingin mencoba menuliskan dan merangkum apa yang saya pelajari. Sebagai upaya menenangkan diri, menjadi pengingat diri sendiri, dan barangkali (semoga) ada mafaat yang juga dapat dibagi.

Allahu a’lam

*Ratusan: jumlah saat buku “Gut and Psychological Syndrome” beliau tulis

Mengurai Stress Bag 1: Baby, Sapih, dan Gula

Lately I feel so tired, easily irritated, kesabaran cepat habis, dan sangat gelisah. Dipikir-pikir banyak hal yang rupanya aku pendam. Tentang ketakutan, pikiran negatif, harapan yang terlalu banyak tanpa mampu aku gapai dan lainnya. Maka tak disangka mungkin sebenarnya saat ini stress levelku lumayan tinggi.

Ingin kucoba urai satu per satu:

Bagian Pertama

Kekhawatiran proses menyapih anak yang hanya tinggal dua bulan lebih sedikit saja. Sementara frekuensi menyusu belum berkurang, belum berhasil mengurangi bertahap padahal sudah di-planning dari sejak 18 bulan. Ditambah lagi MPASI nya sulit masuk, GTM terus… susah banget mau masuk makanan. Sebulan bisa dihitung berapa hari dia lahap, sisanya makan hanya beberapa sendok yang bisa dihitung jari. Sedih… Mau menerapkan rule tidak ada ASI sebelum MPASI saja sulit, karena dia minta sangat sering…. gimana ngga sering, makannya dia tidak mau… pasti dia lapar maka dia minta ASI… kadang bangun tidur pun maunya langsung ASI. ya ALLAH tolong….

Am I being Lebay?? I guess I AM NOT

Kemarin lihat reels IG seorang dokter, tentang anak yang suka makan sedikit2 tapi ngga mau makan berat. Anak gue banget Dok T.T… Saya pribadi sangat khawatir dan merasa ini berbahaya. Banyak yang menenangkan saya bahwa ini biasa namanya juga anak2, “yang penting ada yang masuk”. Tapi saya tetap tidak tenang, karena bagaimanapun anak (apalagi pada masa usia ia tumbuh pesat) perlu nutrisi untuk tumbuh, dan itu saya yakini hanya bisa diperoleh secara optimal dari real food

Lalu apa kata dokter itu? mungkin penyebabnya justru makanan yang “sedikit-sedikit” itu. Sedikit tapi tinggi gula, akan membuat anak merasa sudah kenyang dan menolak makan berat. Belum lagi saya pernah baca bahwa gula akan membawa “craving/ketagihan”, tentunya bukan bikin anak ketagihan sayuran, tapi ketagihan gula-gula lagi… Dan yang membuat saya khawatir juga bahwa lama-lama lidah anak akan asing dengan rasa masakan asli (real-food), maka dia tak akan mau lagi mencicipi berbagai jenis sayur mayur lauk pauk,bila beruntung masih bisa berakhir dengan nasi,ayam goreng, dan wortel rebus, namun bila tidak maka snack kemasan itulah yang jadi asupannya seharian. 

Di situ saya merasa sedih…bila teringat tentang anak yang hampir selalu GTM ini… Saya rasa sangat mungkin benarlah kata dokter itu. Karena saya perhatikan seringkali real food dia tidak mau, terutama setelah sebelumnya dia melihat (lalu minta, diberi, dan makan) sesuatu yang lebih menarik baginya: cemilan maniskah, snack ultra-proses, minuman kemasan.

Mengapa sulit sekali menghindari hal ini? Tidakkah selesai dengan menyembunyikan semuanya..? Hmm… Mungkin bisa bila hidup berdua dengan anak di satu rumah sendiri dan tidak pergi-pergi… Namun belum cukup bila tidak demikian…. karena dukungan orang sekitar sang anak juga berpengaruh. Semoga dapat menjadi kesadaran kita semua, dan semua orang yang dekat dengan anak-anak (dalam hal ini bayi dibawah dua tahun khususnya), bahwa snack2 ultra-proses dan cemilan tinggi gula mungkin dampaknya tak semanis rasanya bagi anak2. Memang bahagia melihat mereka gembira dengan pemberian kita, siapa yang tak suka melihat senyum lebar anak2 dan keriangan mereka… namun mari pertimbangkan dengan lebih holistik, kini dan nanti… Saya pun tak tega menolak, bila mereka sudah melihat dan minta… Maka siklus kembali berulang…   

Maka saya rasa penting untuk setiap yang dekat dengan anak-anak, tahu bahaya yang mungkin tidak terlalu nampak dan terasa ini. Tidakkah lebih baik bagi kita menggenggam misi mulia, untuk bisa menjaga lidah asli mereka, yang mungkin masih “serba murni”.  Lidah petualang mereka dalam mencoba berbagai rasa. Jauhkan dari buaian manisnya gula, yang mampu melumpuhkan keinginan untuk mencoba demikian luasnya ragam rasa yang ada dari buah sayur dan lauk pauk yang asli.  Bila masa kecil adalah masa membangun preferensi lidah anak, maka preferensi yang bagaimana yang akan kita wariskan? (NTMS → bundanya juga makan beragam yahh saat hamil dan menyusui tentunya)

Sweeter than Chocolate

Siapa sih yang nggak suka coklat..?

Anak kecil terutama yah, suka banget sama yang manis-manis termasuk coklat. Kakak Luthfan juga begitu. Kalau dikasih coklat sama bunda kelihatan banget bahagianya. Andaikan coklat yang manis itu adalah makanan sehat, bunda mau deh lebih banyak kasih coklat buat Luthfan. Ngelihat senyum bahagianya itu lho… priceless.

Nah, pada suatu malam…

Seusai makan malam, baik ayah, bunda maupun kakak sama-sama craving for dessert. Akhirnya pilihan kami bertiga jatuh pada “M*lka Oreo White Chocolate..” yang kebetulan masih ada 6 potongan kecil lagi. Tapi karena ini bukan weekend, akhirnya bunda kasih persyaratan kalau makan coklatnya nggak banyak2… masing2 satu potong kecil aja. Bunda pun lalu mengambil coklat dimaksud dari kulkas.

Enam potongan coklat itu terbagi menjadi dua baris, satu baris berisi 3 potong kecil coklat. Sesuai rencana, kami bertiga akan memakan baris pertama coklat saja, masing masing satu potong kecil untuk Kakak, ayah, dan bunda. Namun, saat sedang mematahkan baris pertama untuk dibagi tiga lagi, bunda memotongnya nggak pas sehingga potongannya lebih kecil dari seharusnya. Potongan baris yang lebih besar masih tersimpan di dalam kemasan.

“Yahh… salah motongnya nih, kekecilan.. yaudah coklatnya buat ayah sama kakak aja.. bunda nggak usah dulu deh”

Bunda inget kalau kakak suka coklat, dan bunda juga lagi nggak kepengen-kepengen banget sih makan coklat. Jadi bunda pikir potongan baris yang kecil itu dibagi dua aja untuk kakak dan ayah. Bunda agak merasa bersalah karena memotong baris coklatnya lebih kecil dan ngga sesuai garis potongan.

Akhirnya, bunda pun membagi dua sebaris coklat itu, lalu memberikannya satu untuk kaka, dan satu untuk ayah.

“Nggak…!! nggak bisa…! Bunda harus ikut makan coklat” kata kakak dengan galak dan tegas. Dan dengan sigapnya, tanpa berpikir panjang, kakak memotong coklat bagiannya, dan memberikannya untuk bunda. “Ini untuk bunda…”

Bunda terenyuh & terharu…. Akhirnya bunda potong lagi coklat yang diberi kakak, dan bunda bilang “oke kak buat bunda sedikit aja biar kita makan coklat sama-sama ya..”. Dan akhirnya ayah pun memotong lagi coklatnya untuk bunda…. Nah ini jadinya bagi-bagi coklat… hihihi

Makasih ya kakak… padahal kakak suka banget coklat. Tahu nggak kak kalau Kata Allah, orang itu belum betul-betul mencapai kebaikan sampai dia rela ngasih sesuatu yang dia cintai. Masya Allah, semoga Allah senantiasa menjaga hati dan fitrahmu…

 

Potongan coklat kecil itu sudah lumer di mulut. Manis, tentunya…

but what you just did kak, is sweeter…

“how” dahulu, “why” kemudian

Pernah dengar (atau baca?) kalau anak melakukan suatu kesalahan, sebaiknya kita ngga sering bertanya “kenapa?”, nah.. kenapa gitu tidak boleh bertanya kenapa (aih)? Kalau ngga salah agar anak ngga jadi mencari2 alasan (pinter ngeles gitu mungkin?) Sayangnya dulu saya ngga terlalu serius mendengar/membacanya. Padahal mungkin ini penting…….

Cukup menyesal.. karena mungkin saya termasuk sering bertanya “kenapa” kepada anak dan kepada diri sendiri pun. Padahal mungkin perkembangan otak anak belum sempurna untuk pertanyaan “mengapa”. Naluri analisis membuat pertanyaan “why” secara alami otomatis muncul. Ternyata mungkin hal ini kurang tepat dalam parenting (anak kecil khususnya) dan saat menghadapi suatu masalah.

Saya merasa ada kecenderungan diri saat menemukan suatu masalah maka pertanyaan yang pertama muncul adalah “mengapa ini terjadi” dan bukannya “bagaimana solusinya”. Analisis sebab dikedepankan dibandingkan sintesa solusi. Why dulu, how kemudian…

Selayaknya alergi, saya cenderung menganggap dengan mengetahui akar masalahnya, maka kita bisa, biidznillah tentunya, menemukan solusinya (alergi yaitu dengan menjauhi alergennya). Itulah sebabnya kalau ke dokter saya biasanya kurang sreg kalau dokternya hanya memberi treatment/obat tanpa menjelaskan penyebab terjadinya keluhan yang dirasakan.

Kini saya mulai merasa, bahwa pola pikir seperti ini mungkin terkadang kurang tepat. Mungkin terkadang lebih utama dan bijak untuk bertanya “how”, fokus memikirkan “bagaimana solusinya/ cara apa yang bisa dilakukan untuk membuat kondisi menjadi lebih baik”, terlebih dahulu, baru kemudian mencari akar masalahnya, dan belajar darinya agar permasalahan tidak berulang. 

Semuanya mungkin diawali kejadian ini…

Jadi, belum lama ini, si kecil terkena sembelit. Dugaan saya ini karena doi kurang minum.  Saat ke dokter, entah karena masih pandemi.. dokter ngga banyak diskusi, hanya tanya2 kondisi, periksa perut dsb..  dan langsung kasih resep… Obat laksatif plus bubuk utk treatment beberapa saat ke depan, dan pesan utk kontrol lagi dua pekan berikutnya.. Tak ada diskusi panjang atau bahkan singkat tentang “penyebabmengapa bisa sembelit..

Dapat anda duga.. saya merasa tidak puas ketika itu… Kok cuma gini doank……

Namun alhamdulillah kini si kecil sudah tidak sembelit dan kondisi semakin membaik sembari saya mencoba memperbaiki dan meningkatkan asupan cairannya.  Dari sini dan beberapa hal lainnya, saya mulai berpikir bahwa saat menghadapi suatu masalah, kita tidak harus selalu tahu penyebabnya untuk bisa mendapatkan solusinya.  Terkadang, kita perlu memfokuskan energi kita untuk mencari solusi masalah terlebih dahulu. Bertanya, “how can I make things get better?” terlebih dahulu, dan analisis “why is this happen??” bisa dilakukan kemudian.

Mengetahui akar suatu masalah dapat membantu kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun terkadang, terlalu berfokus pada penyebab masalah “mengapa ini terjadi” juga rentan membuat kita diliputi rasa bersalah yang berlebihan yang dapat membuat kita berputus asa. Alih-alih melihat ke depan bahwa “keadaan bisa jadi lebih baik”, kita terus melihat ke belakang dan mulai didominasi perasaan gagal. Nah, bila mulai demikian, mari merubah fokusnya. Start to focus our energy to find the solution (with or without knowing the cause of the problem). Sekali lagi, menemukan penyebab suatu masalah, memang dapat membantu kita belajar dari kesalahan dan untuk tidak mengulangi hal yang sama.  Tapi kita tidak harus selalu tahu penyebab suatu masalah untuk bisa mendapat solusinya. Fokus pada solusi terlebih dahulu, move on, dan jangan lupa belajar untuk tidak terulang lagi. semangat….!

Allahu a’lam.